Mengapa Minuman Berpemanis Perlu Dikenakan Cukai?
jogja.jpnn.com, YOGYAKARTA - Pada Juli lalu, pemerintah telah menerbitkan PP Nomor 28 Tahun 2024 sebagai Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan untuk mengurangi angka Penyakit Tidak Menular (PTM) di masyarakat.
PP tersebut menjadi landasan untuk mengenakan cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan. Namun, implementasi cukai terhadap minuman berpemanis ditunda sampai 2025.
Koalisi FAKTA, lembaga yang mendorong pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis menyayangkan sikap pemerintah tersebut.
Koalisi itu terdiri dari Forum Warga Kota (FAKTA) Indonesia, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan bekerja sama dengan Pusat Perilaku dan Promosi Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM, Health Promoting University UGM, Yayasan KAKAK serta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Dalam sebuah diskusi publik yang bertajuk “Terapkan Cukai MBDK Sebagai Bentuk Kehadiran Negara Untuk Generasi Emas” di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Jumat (30/8), perwakilan lembaga itu sepakat agar impelementasi cukai terhadap minuman berpemanis disegerakan.
Menurut mereka, minuman berpemanis dalam kemasan saat ini sudah sangat menjamur. Minuman dalam kemasan, seperti kopi, teh, susu olahan dan minuman berkarbonasi dijual dengan harga yang murah.
Minuman berpemanis itu dinilai sebagai salah satu pemicu naiknya angka penderita diabetes. Menurut Riset Dasar Kesehatan (Riskesdas) 2023, angka prevalensi diabetes di Indonesia meningkat menjadi 11,7 persen.
Ketua FAKTA Indonesia Ari Subagyo Wibowo menyesalkan penundaan penerapan cukai untuk minuman berpemanis.
Pemerintah menunda pengenaan cukai untuk minuman berpemanis dalam kemasan. Mengapa cukai perlu diberlakukan terhadap minuman berpemanis?
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jogja di Google News