PHRI DIY Protes Besaran Pajak Hiburan
jogja.jpnn.com, YOGYAKARTA - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) keberatan dengan penetapan besaran pajak hiburan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Dalam aturan tersebut, pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
Kementerian Keuangan menyatakan pemerintah daerah dapat mengatur insentif fiskal soal tarif PBJT jasa kesenian dan hiburan atau pajak hiburan.
Kewenangan tersebut tertuang dalam Pasal 101 UU HKPD. Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa gubernur/bupati/wali kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi.
Ketua PHRI DIY Deddy Pranowo Eryono meminta Pemerintah Yogyakarta menggunakan kewenangannya untuk menurunkan besaran pajak hiburan menjadi 10 sampai 20 persen.
"Kalau bicara pajak sudah kewajiban kami, tetapi yang wajar-wajar saja, 10 sampai 20 persen itu kan wajar," kata Deddy.
Deddy mengaku besaran pajak hiburan dalam UU HKPD ditetapkan tanpa didahului sosialisasi serta pembahasan bersama asosiasi pelaku usaha terkait. Menurut dia, sejumlah negara saat ini justru berlomba menurunkan pajak hiburan untuk menggaet lebih banyak wisatawan.
"Seperti Thailand, Singapura, Filipina, mereka menurunkan pajak untuk menarik wisatawan datang ke negaranya. Selain menarik wisatawan juga beban biaya konsumen agar tidak terlalu tinggi," kata dia.
Besaran pajak hiburan malam yang ditetapkan dalam UU HKPD mendapat penolakan dari PHRI DIY. Besaran pajak hiburan dinilai terlalu besar.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jogja di Google News