Ormas Ini dengan Tegas Menolak Pengelolaan Tambang
"Atas nama kemajuan ekonomi, pembukaan lahan skala besar justru mencemari air, udara, dan laut yang berdampak pada terganggunya kesehatan warga, kerusakan pangan lokal, terutama sekitar tapak tambang. Jadi, jika PMKRI turut terlibat dalam urusan tambang, ini sama halnya kami melestarikan persoalan-persoalan yang ada dan akan sangat paradoks dengan kerja-kerja yang kami lakukan selama ini, yaitu menjaga kedaulatan lingkungan," ujar dia.
Tri menambahkan bahwa pemerintah harus merevisi PP 25 tahun 2024 karena kebijakan itu berpotensi menambah masalah di sektor pertambangan.
"Kami menilai rencana ini juga akan berisiko menimbulkan konflik agraria baru dengan masyarakat dan mempertajam ketimpangan sosial. Berdasarkan data KPA, sepanjang 2023, tambang menyebabkan 32 letusan konflik agraria di 127.525 hektar lahan dengan 48.622 keluarga dari 57 desa terdampak tambang," ujar dia.
Hal serupa juga diutarakan oleh Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Madan (UGM) Fahmy Radhi. Menurut dia, langkah pemerintah tersebut sarat kepentingan politik.
“Kebijakan pemberian WIUPK kepada Ormas Keagamaan sungguh sangat tidak tepat, bahkan menurut saya cenderung blunder,” kata Fahmy, Selasa (4/6).
Ia menganggap ormas tidak memiliki kemampuan untuk menjalankan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan.
Ia malah khawatir nantinya ormas justru berperan sebagai broker atau makelar dengan mengalihkan WIUPK kepada perusahaa tambang.
Alih-alih memberikan WIUPK, ia menyarankan pemerintah profitability index (PI) kepada ormas keagamaan.
PMKRI menjadi salah satu ormas keagamaan yang berpeluang mendapatkan izin mengelola tambang. Namun, ormas ini dengan tegas menolak kebijakan tersebut.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jogja di Google News