Sejumlah Akademisi Menolak Revisi UU TNI

Menurut dia, akademisi dan masyarakat sipil lainnya harus menggagalkan pengesahan revisi UU TNI agar amanah reformasi tentang dwifungsi ABRI/TNI bisa tetap dijalankan.
Bivitri Susanti dari STHI Jentera menjelaskan bahwa Pasal 30 UUD 1945 telah menegaskan bahwa TNI adalah alat negara yang bertugas untuk mempertahankan dan melindungi kedaulatan negara.
“TNI, Polri dan BIN adalah alat negara. Bukan lembaga negara,” ujarnya.
Sebagai alat negara, kata Bivitri, TNI diberi akses menggunakan senjata dan kekerasan untuk menjaga kedaulatan negara. Kehadiran tentara sangat diperlukan untuk mempertahankan kedaulatan NKRI.
“Tentara itu penting, tetapi tidak kompatibel dalam sistem pemerintahan demokratis. Militer itu top down atau komando, sementara dalam demokrasi kita ingin button up, transparan dan demokratis. Oleh karena itu, tentara tetaplah di tempatnya saat ini, di wilayah ketentaraan,” kata Bivitri.
Secara umum, ada enam hal menjadi dasar para akademisi itu menolak pengesahan RUU TNI.
Pertama, revisi UU TNI justru akan mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas atau kekebalan hukum anggota TNI.
Kedua, revisi UU TNI tidak hanya mengancam profesionalisme militer, tetapi juga mengkhianati komitmen Indonesia dalam menjalankan berbagai rekomendasi PBB dan kewajiban hukum HAM internasional.
Sejumlah akademisi yang tergabung dalam lembaga dan pusat kajian di kampus mendesak agar RUU TNI tidak disahkan karena bermasalah secara proses dan substansi.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jogja di Google News