Utak-atik Pasal Defamasi UU ITE, Delik Bermasalah yang Enggan Dihapus
Sejak 2017 sampai 2020, ada 188 Laporan tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi, baik menggunakan UU ITE atau KUHP. Pada 2021, ada 37 laporan yang masuk ke polisi menggunakan pasal-pasal di UU ITE.
Jumlahnya makin melonjak pada 2022, dimana terdapat 134 laporan kepada polisi yang menyasar kebebasan berekspresi seseorang. Tiga puluh empat laporan di antaranya menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Sebagian besar kasus-kasus UU ITE yang sampai ke pengadilan divonis bersalah oleh majelis hakim.
Kasus-kasus UU ITE juga ramai diperbincangkan publik dan viral di media sosial, antara lain yang menjerat Prita Mulyasari, Florence Sihombing, Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti, Novel Baswedan, Richard Lee, dan Kamaruddin Simanjuntak.
Polemik penggunaan pasal-pasal karet di UU ITE akhirnya mendapat perhatian dari Presiden Joko Widodo. Pada awal 2021 Jokowi meminta UU ITE kembali direvisi agar bisa memberi rasa keadilan bagi masyarakat.
Instruksi Presiden Jokowi langsung ditindaklanjuti oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dengan mengusulkan revisi kedua UU ITE kepada Komisi I DPR RI.
Berdasarkan catatan dari Indonesian Parliamentary Center (IPC) revisi kedua UU ITE dimulai dengan rapat internal Komisi I DPR RI pada November 2022.
Peneliti IPC, Arbain mengatakan bahwa proses revisi kedua UU ITE tidak transparan dan minim partisipasi publik.
Pasal-pasal bermasalah di UU ITE saat ini sedang direvisi oleh pemerintah dan DPR. Delik defamasi yang jadi momok kebebasan berekspresi diminta diapus.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jogja di Google News