Utak-atik Pasal Defamasi UU ITE, Delik Bermasalah yang Enggan Dihapus
Berdasarkan data yang dihimpun di Openparliament.id, sejak November 2022 hingga Juni 2023 terdapat 12 kali rapat pembahasan UU ITE. Dari 12 kali rapat itu, hanya ada lima rapat yang melampirkan laporan singkat, sedangkan catatan dan risalah rapat sama sekali tak ada.
“Bikin undang-undang itu harus akuntabel, transparan salah satu mekanismenya,” kata Arbain.
Arbain mengatakan pembahasan undang-undang di DPR pada prinsipnya bersifat terbuka untuk publik, kecuali beberapa hal yang rahasia atau bisa mengganggu proses hukum.
Menurut dia, pembahasan UU ITE tidak memenuhi prinsip yang mengharuskan rapat-rapatnya digelar tertutup.
“Kalau orang sekadar menyampaikan pendapat terhadap satu pasal, seharusnya enggak layak bersifat tertutup,” ucapnya.
Dalam setiap pembahasan rancangan undang-undang yang terbuka, kata Arbain, setidaknya ada tiga dokumen yang harus disampaikan kepada publik, yaitu laporan singkat, catatan, dan risalah rapat.
Dia mengatakan bahwa polemik yang selama ini muncul karena UU ITE mengindikasikan bahwa proses revisi kedua saat ini harus benar-benar mampu untuk memberi ruang partisipasi publik.
“Ada hak informasi dan hak berpartisipasi. Publik ikut menentukan substansi kebijakan. Kadang orang kurang pas memahami partisipasi, bikin seminar dianggap sudah membuka ruang partisipasi. Terkait revisi UU ITE, sampai sekarang kami belum dapat draf resmi, baik dari pemerintah atau DPR,” ujar Arbain.
Pasal-pasal bermasalah di UU ITE saat ini sedang direvisi oleh pemerintah dan DPR. Delik defamasi yang jadi momok kebebasan berekspresi diminta diapus.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jogja di Google News