Utak-atik Pasal Defamasi UU ITE, Delik Bermasalah yang Enggan Dihapus
“Kasus-kasus di UU ITE ini sederhana, pokoknya ada substansi fitnah di sarana elektronik, maka kena lah pasal ini. Di UU ITE tidak ada pembuktian tuduhan, tetapi menguji apakah ada orang yang tersinggung dengan kata-kata kasar di saluran elektronik. Itulah mengapa kami minta ini sebaiknya dicabut,” katanya.
Dalam revisi kedua ini, Erasmus meminta pemerintah dan DPR untuk bisa mengembalikan marwah UU ITE menjadi undang-undang yang mengatur soal transaksi elektronik. Ada banyak korban penipuan dan pemerasan melalui sarana elektronik yang seharusnya bisa memaksimalkan UU ITE.
“Jangan tambah beban polisi dengan pasal-pasal pencemaran nama baik di UU ITE. Biarkan polisi khusus menindak penipuan dan pinjol ilegal (pinjaman online) menggunakan UU ITE ini,” ucapnya.
Kecil Peluang Pasal Defamasi Dihapus
Revisi kedua UU ITE adalah inisiatif pemerintah. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) merumuskan beberapa daftar inventarisasi masalah (DIM) di UU ITE, untuk kemudian dibahas bersama panja Komisi I DPR RI.
Ketua Panja Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari mengatakan sejak awal pemerintah tidak berniat merombak UU ITE.
Dalam proses revisi kedua UU ITE, delik defamasi memang menjadi salah satu yang banyak dibahas oleh tim panja.
Berdasarkan draf DIM yang didapat oleh Koalisi Serius Revisi UU ITE, ada beberapa fraksi yang mengusulkan agar pasal 27 ayat (3) dihapus karena sudah diatur dalam KUHP yang baru, seperti Fraksi Partai Demokrat, Golkar, dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Pasal-pasal bermasalah di UU ITE saat ini sedang direvisi oleh pemerintah dan DPR. Delik defamasi yang jadi momok kebebasan berekspresi diminta diapus.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jogja di Google News