Utak-atik Pasal Defamasi UU ITE, Delik Bermasalah yang Enggan Dihapus
Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Partai Demokrat Rizki Natakusumah mengatakan ada kekhawatiran kekosongan hukum jika Pasal 27 ayat (3) dicabut karena KUHP terbaru akan aktif per 2026.
Namun, menurut dia, jika terlalu banyak pengaturan yang tumpang tindih, potensi multi interpretasi akan sangat besar.
“Idealnya memang ada peraturan di UU ITE yang mengantarkan pasal-pasal yang sudah diatur oleh KUHP sehingga tidak ada kekosongan hukum. Akan tetapi, jika peraturan peralihan itu tidak ada, KUHP lama pun telah mengatur tentang larangan menyerang kehormatan, nama baik seseorang, dan menyebarkan fitnah sehingga KUHP lama dapat menjadi acuan sambil menunggu berlakunya yang baru,” kata Rizki kepada JPNN.
Rizki menegaskan bahwa Partai Demokrat ingin UU ITE tidak mengebiri kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi di dunia digital.
Menurut dia, UU ITE harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang eksisting karena banyak bersinggungan dengan undang-undang lainnya, seperti KUHP dan UU TPKS.
“UU ITE sebagai lex specialis sebaiknya tidak menciptakan pertentangan hukum yang nantinya malah membuat kebingungan di kalangan aparat penegakan hukum,” kata dia.
Meski terjadi perbedaan pandangan antara fraksi dan pemerintah, menurut Rizki, semua anggota panja setuju untuk tidak membenturkan UU ITE dengan KUHP. Dalam rapat, anggota panja selalu menguji apakah rancangan yang ada akan ditafsirkan berbeda oleh petugas di lapangan.
“Jadi, kami harap potensi pasal karet di UU ITE bisa ditekan dengan adanya perspektif petugas lapangan,” ucapnya.
Pasal-pasal bermasalah di UU ITE saat ini sedang direvisi oleh pemerintah dan DPR. Delik defamasi yang jadi momok kebebasan berekspresi diminta diapus.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jogja di Google News