Utak-atik Pasal Defamasi UU ITE, Delik Bermasalah yang Enggan Dihapus
“Di KBBI, Baji***n punya beberapa arti, kenapa yang dipakai hanya arti mengumpat? Aku juga tidak menulis Fatim Hamama Baji***n. Itulah karetnya pasal pencemaran nama baik di UU ITE,” ujar Saut.
Saut mengatakan pembuktian delik pencemaran nama baik di UU ITE lebih banyak menggunakan ahli bahasa. Itulah mengapa pasal tersebut sangat mudah memvonis bersalah orang yang dijerat.
Menurut dia, delik pencemaran nama baik seharusnya menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
“UU ITE itu kan undang-undang yang bertujuan mengatur transaksi keuangan elektronik. UU ITE itu sebetulnya untuk dagang, tetapi saat ini dipakai untuk delik pencemaran nama baik manusia. Enggak ada hubungannya itu,” ucap Saut.
Saut mengatakan UU ITE benar-benar telah merampas kebebasan berekspresi. Sebagai orang yang bergelut di bidang sastra, Saut merasa berhak protes terhadap terbitnya buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh.
Namun, hal itu sama sekali tidak dipertimbangkan dalam konteks penerapan UU ITE.
“Itulah kompleksitas UU ITE. Pasalnya karet, polisi senang memakai pasal itu. Akhirnya kena semua,” ujar dia.
Pasal Defamasi, Terbanyak untuk Kriminalisasi
Meski berbeda konteks dan terpaut tujuh tahun, kasus Purwoko dan Saut Situmorang punya kesamaan. Kedua kasus itu terjadi saat UU ITE sedang dalam masa revisi di Komisi I DPR RI.
Pasal-pasal bermasalah di UU ITE saat ini sedang direvisi oleh pemerintah dan DPR. Delik defamasi yang jadi momok kebebasan berekspresi diminta diapus.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com Jogja di Google News